oleh Rizki Kusumadewi Saputri,M.Psi.,Psikolog tentang apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Psikologi, Parenting, Resep Masakan dan Semua Tentang Wanita

Minggu, 23 Juni 2013

,


Hurlock (1991) mendefinisikan penyesuaian perkawinan sebagai proses adaptasi antara suami dan istri, dimana suami dan istri tersebut dapat mencegah terjadinya konflik dan menyelesaikan konflik dengan baik melalui proses penyesuaian diri. Menurut Lasswel & Lasswel (1987), penyesuaian perkawinan berarti kedua individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing, ini berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan. Penyesuaian perkawinan bukan suatu keadaan absolut melainkan suatu proses yang terus menerus terjadi.
            Perkawinan menyatukan dua individu untuk menjalani hidup bersama. Dalam kehidupan perkawinan, pasangan perlu menyesuaikan diri satu sama lain dan juga dengan masalah-masalah yang muncul, sehingga tercapai hubungan yang sehat dan memuaskan. Area-area dimana pasangan merasakan masalah menunjukan area di mana pasangan perlu melakukan penyesuaian (Landis, 1954). 

Penyesuaian perkawinan dapat didefinisikan sebagai:
“Penyesuaian perkawinan adalah perubahan dan penyesuaian dalam kehidupan pasangan selama masa perkawinan” (Landis,1954: 18-19). 

Menurut Scanzoni dan Scanzoni (1976), penyesuaian perkawinan adalah:
“Penyesuaian perkawinan adalah proses adaptasi suami dan istri untuk menghindari dan menyelesaikan konflik sehingga keduanya merasa puas dengan perkawinannya” (Sconzoni & Scanzoni, 1976: 21-22) 

Perkawinan menyatukan dua individu dengan latar belakang dan sifat yang berbeda. Pasangan dalam perkawinan perlu melakukan penyesuaian terhadap satu sama lain sehingga terdapat pengertian dan kebahagiaan di antara mereka. Tahun-tahun pertama perkawinan merupakan periode dimana pasangan saling menyesuaikan satu sama lain. Tahun-tahun pertama perkawinan ini terbukti sulit bagi pasangan, beberapa pasangan merasakan kekecewaan dalam menghadapi masalah-masalah di tahun-tahun pertama perkawinan (Newman, 1991).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan penyesuaian perkawinan adalah perubahan atau penyesuaian selama masa perkawinan antara suami dan isteri untuk dapat memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan. Penyesuaian perkawinan adalah suatu proses yang terus-menerus dan berubah-ubah. Penyesuaian perkawinan adalah proses adaptasi dimana antara kedua individu telah belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing, ini berarti mencapai suatu derajat kebahagiaan dalam hubungan. Penyesuaian perkawinan bukan suatu keadaan absolut melainkan suatu proses yang terus menerus terjadi.


Karakteristik Penyesuaian Perkawinan Menurut Hurlock (1980)
  1. Kebahagiaan suami dan istri
Suami dan istri yang bahagia bersama memperoleh kepuasan dari peran-peran yang mereka jalankan. Mereka juga memiliki cinta yang matang dan stabil, mempunyai penyesuaian seksual yang baik dan menerima peran sebagai orangtua.

b. Hubungan yang baik antara orangtua dan anak
Bagi yang sudah mempunyai anak maka hubungan yang baik antara orangtua dengan anak menunjukkan keberhasilan penyesuaian yang baik. Bila hubungan antara orangtua dan anak tidak baik maka suasana rumah akan ditandai dengan adanya friksi.

c. Penyesuaian yang baik pada anak
Pada anak keberhasilan mereka menyesuaiakan diri dengan teman-temannya, sekolahnya, akan menunjukkan keberhasilan penyesuaian perkawinan orangtuanya.

d. Mampu menghadapi perbedaan pendapat dengan baik
Perbedaan pendapat di dalam keluarga merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Penyesuaian perkawinan yang baik ditandai dengan adanya kemampuan dari anggota keluarga untuk memahami pandangan yang berbeda dari anggota keluarganya. Penyesuaian yang baik akan tercapai dengan cara demikian dibandingkan bila ada salah satu anggota keluarga yang harus mengalah atau perbedaan pendapat didiamkan saja.

e. Kebersamaan
Dalam penyesuaian perkawinan yang baik, masing-masing anggota akan menikmati saat-saat kebersamaan mereka.

f. Penyesuaian keuangan yang baik
Pada umumnya, masalah keuangan merupakan masalah yang sering menimbulkan masalah. Terlepas dari besarnya penghasilan, hal terpenting yang harus dilakukan suatu keluarga adalah mengatur pemasukan dan pengeluaran rumah tangga, sehingga keluarga terhindar utang.

g. Penyesuaian dengan keluarga pasangan yang baik
Penyesuaian yang baik dengan keluarga pasangan akan membuat suatu keluarga jarang mengalami konflik dalam hubungan kekeluargaannya.


Dimensi-dimensi Penyesuaian Perkawinan
Bernard ( dalam Santrock, 1973 ) mendeskripsikan tiga dimensi pokok dalam penyesuaian perkawinan :
a. Derajat kesepahaman atau kesepakatan antar pasangan
Kesepahaman atau kesepakatan antar pasangan dalam berbagai masalah dalam perkawinan. Derajat kesepahaman antar pasangan dalam berbagai aspek kehidupan perkawinan akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan mereka, seperti pembagian tugas-tugas rumah tangga.
b. Komunikasi yang intim antar pasangan
Komunikasi merupakan faktor terpenting dalam penyesuaian perkawinan. Komunikasi interpersonal dapat berbentuk verbal dan non verbal, seperti membicarakan masalah yang terjadi di rumah tangga, menunjukkan sensivitas antar pasangan dan melengkapi komunikasi verbal dengan komunikasi non verbal.


Area-area Penyesuaian Perkawinan
Menurut Landis dan Knox (dalam Feldman, 1989) area-area utama yang biasanya menyebabkan permasalahan dalam sebuah perkawinan sehingga perlu dilakukan penyesuaian perkawinan, yaitu:

a. Keuangan
Keuangan adalah penting dalam kehidupan perkawinan, karena menentukan bagaimana kehidupan pasangan sehari-hari. Terkadang pasangan berselisih mengenai jumlah dan jenis pengeluaran yang perlu dilakukan, sehingga mereka perlu melakukan penyesuaian di bidang keuangan ini.


b. Hubungan mertua ipar
Ketika seseorang menikah, ia perlu menjalin hubungan baik dengan pihak keluarga pasangan. Setiap keluarga mempunyai nilai dan cara hidup sendiri tak mudah bagi seseorang untuk menyesuaikan dengan nilai dan cara hidup yang berbeda dengannya.

c. Hubungan seksual
Bagian dari penyesuaian perkawinan adalah kemampuan untuk mengekspresikan dorongan seksual yang memuaskan kedua belah pihak. Pasangan harus melakukan penyesuaian sehingga terdapat kepuasan di antara mereka.

d. Aktivitas sosial dan rekreasi
Pria dan wanita umumnya mempunyai minat yang berbeda menyangkut kehidupan sosial dan rekreasinya. Setelah perkawinan mereka perlu melakukan penyesuaian terhadap perbedaan minat yang ada diantara mereka selain itu pasangan juga harus menyesuaikan dengan keadaan sosial dan rekreasi yang mungkin berubah setelah perkawinan

e. Hubungan dengan teman
Seperti halnya sosial dan reaksi, suami dan istri mempunyai teman-teman yang berbeda, sehingga dibutuhkan penyesuaian satu sama lain. Pasangan juga perlu menyesuaikan kehidupan pertemanan mereka yang mungkin berubah setelah perkawinan.

f. Kehidupan beragama
Kehidupan beragama juga membutuhkan penyesuaian. Tak jarang pasangan mempunyai pandangan dan tata cara beragama yang berbeda sehingga dibutuhkan penyesuaian untuk itu.

g. Mengasuh dan mendisiplinkan
anak
Kehadiran seorang anak dalam perkawinan dapat menimbulkan masalah emosional di antara pasangan. Penyesuaian dibutuhkan dalam area ini.
Hurlock, 1980 (dalam Dinda Annisa Paramitha, 2002). Menambahkan, pasangan juga perlu menyesuaikan diri satu sama lain, belajar untuk menjalin hubungan emosional dan berbagai afeksi.


Bentuk Penyesuaian Perkawinan
Menurut Rusbult dan Zembrodt (dalam Barondan Byrne, 1994) terdapat dua bentuk perilaku yang dapat dilakukan manusia ketika menghadapi suatu hubungan yang tidak membahagiakan, yaitu aktif dan pasif. Hal yang sama berlaku dalam kehidupan perkawinan, dalam menghadapi suatu masalah, pasangan dapat menghadapinya secara aktif maupun pasif.

a. Aktif
Dengan cara ini, apabila pasangan suami istri menghadapi suatu masalah tertentu, mereka secara aktif memutuskan apakah akan menyelesaikan masalah yang bersangkutan (voice) atau mengakhiri hubungan perkawinan (exit). Mereka dapat memutuskan bahwa mereka harus membicarakan permasalahan ini dan mencoba untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

b. Pasif
Dalam menghadapi masalah secara pasif, pasangan seakan tidak memperdulikan adanya masalah tersebut. Pasangan tidak berusaha untuk menyelesaikan masalah ataupun melakukan tindakan untuk mengakhiri hubungan. Dengan cara ini seseorang dapat berdiam diri secara pasif dan menunggu masalah tersebut terselesaikan dengan sendirinya (loyalty), atau berdiam diri dan menunggu sehingga masalah semakin parah dan merusak hubungan yang ada (neglect).


Faktor-faktor yang Menyebabkan Penyesuaian Perkawinan
Menurut Hurlock (1980), terdapat kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan penyesuaian perkawinan, yaitu:

a. Saat menjadi orang tua (timing of parenthood)
Jangka waktu sejak perkawinan hingga pasangan memiliki anak akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan bila anak pertama lahir sebelum pasangan dapat menyesuaikan diri satu sama lain dan atau keadaan keuangan belum stabil, penyesuaian perkawinan akan lebih sulit untuk dilakukan.

b. Keadaan keuangan yang stabil (stable financial condition)
Keadaan ekonomi pasangan akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Pasangan yang mempunyai status ekonomi yang baik atau yang diinginkan akan dapat melakukan penyesuaian perkawinan lebih mudah dibandingkan pasangan yang mengalami kesulitan ekonomi keuangan.

c. Harapan yang tidak realitis akan perkawinan (unrealistic expectations of marriage)
Harapan yang tidak realitis akan kehidupan perkawinan akan mempersulit penyesuaian perkawinan. Terkadang pasangan tidak menyadari permasalahan dan tanggung jawab yang dapat timbul dalam sebuah perkawinan. Harapan atau bayangan bahwa perkawinan akan selalu romantis dan tidak pernah bermasalah sering membawa kekecewaan dan mempersulit penyesuaian perkawinan.

d. Jumlah anak (Number of childeren)
Kesepakatan pasangan akan jumlah anak yang akan dimiliki akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Apabila pasangan sepakat akan jumlah anak yang akan dimiliki dan berhasil mencapai jumlah tersebut, penyesuaian perkawinan pasangan tersebut akan lebih mudah.

e. Urutan kelahiran dalam keluarga (Ordinal position in the family)
Semakin mirip peran dalam perkawinan dengan peran yang pernah dipelajari dalam keluarga, semakin mudah penyesuaian perkawinannya. Urutan kelahiran dalam keluarga mempunyai peran yang penting, karena peran yang dipelajari sesuai urutan tersebut akan terbawa pada kehidupan perkawinan. Menurut Hurlock (1980) penyesuaian perkawinan akan lebih mudah apabila suami adalah anak sulung dengan adik perempuan, sedangkan isteri adalah adik dari kakak laki-laki. 

f. Hubungan dengan keluarga pasangan (in law relationships)
Hubungan dengan keluarga pasangan (pihak mertua dan ipar) akan mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Semakin baik hubungan tersebut, semakin mudah pula penyesuaian perkawinannya.
,

Perilaku seksual manusia yang berakar pada kebutuhan seks sebagai kebutuhan primer manusia selalu menjadi sorotan masyarakat dari masa ke masa. Walaupun banyak pihak sepakat bahwa seks adalah sesuatu yang alamiah, perilaku seksual manusia selalu diatur oleh rambu-rambu moral yang berlaku dalam masyarakat tertentu. Sepanjang sejarah manusia konflik antara dorongan kebutuhan seksual dengan norma moral selalu mewarnai kehidupan manusia dan selalu menjadi topik menarik yang tidak pernah tuntas dibahas. Hubungan seks sebelum menikah di kalangan remaja akhir-akhir ini banyak disorot karena cenderung meningkat. 
Pada dasarnya, setiap orang mempunyai kebutuhan seksual yang menuntut untuk dipuaskan melalui hubungan kelamin antar jenis (Hurlock, 1991). Namun, masyarakat masih membatasi perilaku seksual remaja karena melihat bahwa mereka belum dapat melepaskan remaja untuk menunjukan perilaku seksual yang sebanding dengan kebutuhannya. Hubungan seksual dengan lawan jenis dibatasi untuk pasangan-pasangan yang telah menikah. Remaja dituntut untuk menahan dirinya, dengan demikian hubungan seks sebelum menikah pada remaja dianggap menyimpang. 
Sejalan dengan meningkatnya hubungan seksual sebelum menikah, terjadi juga peningkatan masalah-masalah seksual lainnya seperti, penyakit kelamin, aborsi, pernikahan usia muda, dan masalah kehamilan tidak dikehendaki atau tidak direncanakan (unwanted atau unitended pregnacy). Masalah-masalah ini disebut oleh WHO (1989) sebagai masalah kesehatan reproduktif remaja yang telah mendapat perhatian khusus dari berbagai organisasi internasional. 

Kehamilan atau sering disebut juga reproduksi adalah fungsi yang terhormat dan bahkan dianggap sakral. Akan tetapi, peristiwa ini kerap terjadi terlalu awal dalam siklus kehidupan seseorang tanpa dikehendaki, terlalu sering atau terjadi dalam keadaan yang tidak tepat. Kehamilan yang terjadi pada pasangan remaja yang belum menikah diakibatkan karena pasangan remaja tersebut melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Rice (dalam Turner & Helms, 1983) menyebutkan bahwa pasangan yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Seberapa jauh tingkat penerimaan masyarakat, budaya setempat serta orang-orang terdekat yang menjadi tokoh pentingnya seperti keluarga dan teman dekat, terhadap perilaku seksual tersebut.

b. Ada atau tidaknya kesenjangan antara nilai-nilai pribadi dengan perilaku seksual yang dilakukan.

c. Dalam suasana yang bagaimana perilaku seksual tersebut dilakukan. Apakah secara sukarela atau terpaksa, dalam suasana yang menyenangkan atau tidak, aktivitas itu sendiri secara fisik mendatangkan kenikmatan atau justru menyakitkan.

d. Apakah pengalaman melakukan hubungan seks tersebut dapat mendatangkan kepuasan secara emosional atau justru menimbulkan perasaan frustasi.

Pengalaman melakukan hubungan seksual sebelum menikah pertama kali akan menimbulkan reaksi-reaksi negatif apabila tingkat penerimaan masyarakat, budaya setempat dan tokoh panutan terhadap perilaku itu sendiri sangat kuat bertentangan dengan nilai-nilai pribadi pelaku, apabila perilaku tersebut dilakukan dengan terpaksa dalam suasana yang tidak menyenangkan dan menimbulkan rasa sakit, serta apabila pada akhirnya keterlibatan dalam perilaku tersebut menyebabkan furstasi dalam diri pelaku (Soesilo, 1998).

Dampak Kehamilan Sebelum  Menikah
Dampak seks pranikah sangat jelas terlihat, salah satu akibat yang paling terjadi adalah kehamilan diluar nikah. Sarwono (2002), mengemukakan bahwa kehamilan diluar nikah bagi remaja akan menimbulkan masalah lain, seperti : dikeluarkannya remaja tersebut dari sekolah, kemungkinan penguguran kandungan (aborsi) yang tidak bertanggung jawab dan membahayakan, adanya masalah seksual yang dapat memberi akibat di masa dewasa dan pernikahan yang dipaksakan sehingga pernikahan tersebut tidak memiliki fondasi yang baik.Penguguran kandungan dapat menyebabkan timbulnya perasaan bersalah, depresi dan marah pada remaja tersebut, lebih dari separuh mereka yang telah melakukan hubungan seks pranikah ini mengalami stres emosi seperti shock, cemas, malu, takut diketahui orang lain dan merasa bersalah (Sarwono, 2002)
 

Follow Us @pawonkulo